Sang Penghancur

Gambar
Tanah yang kupijak retak. Dinding yang kusentuh hancur. Manusia yang kusentuh meledak. Tanaman yang kusentuh langsung layu. Hewan yang kusentuh juga langsung hancur. Inilah aku sang Penghancur. Sebulan yang lalu, sebelum aku mendapatkan kutukan sebagai sang Penghancur. Saat itu aku baru mandi sore. Karena terlalu lelah setelah bekerja seharian, aku berencana untuk menonton televisi. Tapi, baru saja kunyalakan, televisi itu langsung meledak. Tanah yang kupijak retak. Entah angin dari mana, kutukan itu aktif begitu saja. "Hero, kau sedang apa?!" seru ibuku yang mendengar keributan yang baru saja kulakukan. Aku tak bergeming. Belum paham dengan apa yang baru saja terjadi. "Saya tadi menyalakan televisi, Bu. Tapi tiba-tiba meledak televisinya." Aku berusaha menjelaskan. Ibuku menggeleng bingung. Tapi segera tersenyum karena sebenarnya hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke dua puluh. Sepertinya beliau berencana memaafkan semua kesalahanku hari ini. Lalu mendekatiku.

Saku Celana


Aku sudah benar-benar di ambang batas kesabaranku. Kini yang tersisa di kos kosanku hanyalah baju, tubuh, dan nyawanya. Tempat itu bersih seperti awal dulu aku dengan Saito pertama kali masuk kosan ini. Yah, Saito. Dia anak muda yang bernasib malang. Sungguh naas karena ikut bersamaku merantau ke kota Kumang yang antah berantah ini. Dulu sekali aku memang pernah merantau dan sukses. Tapi saat kembali lagi semuanya kembali dari nol lagi. Orang-orang proyek yang dulu menyewaku mengalami bangkrut total setelah proyek besar mereka gagal. Akibatnya banyak sekali pegawai yang diberhentikan tugasnya. Termasuk aku dan Saito.


Harta milik Saito sendiri hanya berupa setelan rapinya yang biasanya ia gunakan buat pergi ke acara khusus. Tapi hari ini dia berencana menjualnya dan menukarnya dengan pakaian yang lebih murah. "Yakin kamu, To?"


"Yakinlah, Pak Dhe." Dia berkata tanpa beban. "Ini juga cuma pakaian."


Saito langsung pergi. Aku membiarkannya. Setelah ini, kami harus memikirkan cara buat memghasilkan uang. Karena hasil penjualan pakaian Saito adalah sumber uang terakhir. Kepalaku berdenyut denyut memikirkan itu. Orang tanpa kemampuan dan ketrampilan seperti ku sangat sulit bersaing di dunia modern ini.


"Pak Dhe! Pak Dhe!" panggil Saito kegirangan ketika pintu kosan terbuka. Mataku langsung tertuju dengan dua kresek besar yang dia bawa. Aku tak percaya setelannya bakal menjadi semahal ini.


"Lho, itu apa, To?"


"Makanan sama kebutuhan sehari-hari kita Pak Dhe. Setelah ini kita nggak bakal kelaparan lagi."


Aku yang kebingungan berpikir macam-macam. "Kamu dapat dari mana uang itu? Jangan nyuri lho ya. Pak Dhe nggak mau makan barang curian. Haram."


Saito terkekeh. "Enggak Pak Dhe. Saya nemu uang di celana baru saya."


"Lho kok bisa. Celana baru atau bekas?"


"Bekas orang kaya sepertinya Pak Dhe. Uangnya cukup banyak."


Saito menaruh satu kresek di dekat pintu. Dan satu lagi dia bawa dekat denganku. Lalu, satu per satu dia mengeluarkan isinya. Ada sebungkus nasi hangat. Sebungkus mie goreng. Sebungkus udang goreng. Dua bungkus es kelapa muda. Juga banyak makanan dan minuman lagi. Aku tak percaya dengan semua itu hanya ternganga.


"Kamu bener nggak nyolong?"

"Udah ah, Pak Dhe. Makan dulu. Toh, Pak Dhe kenal saya seperti apa."


Benar juga. Selama ini Saito nggak pernah bohong dan nggak pernah nyuri. Ibadah nya juga rajin sekali. Mungkin ini berkah dari Allah. Melihat Saito sudah makan duluan, perutku yang sedari kemarin keroncongan langsung bereaksi. Aku mulai ikut makan. Aku sudah percaya pada Saito.


***


"Tolong! Tolong! Adik saya!" Teriak Mbak Narsih, tetangga sebelah kami.


Sontak saja, meski perut masih kekenyangan aku dan Saito langsung keluar kosan. Mbak Narsih kini sedang terduduk lemas di pinggir jalan raya. Adiknya terkapar berdarah-darah di tengah jalan. Kami segera membawanya ke pinggiran jalan. Sepertinya sang Penabrak sudah kabur duluan.


"Gimana Pak Dhe?" tanya Saito yang getar-getir melihat banyak darah yang mengalir deras dari luka-luka Adik Mbak Narsih.


"Dia masih hidup, kok. Tapi sepertinya harus segera di bawa ke rumah sakit."


Mbak Narsih menangis tersedu melihatnya. Tetangga lain tak ada yang mau datang. Mereka hanya mengintip dari celah pintu atau jendela kosan mereka. Aku tak menyalahkan mereka. Karena jika sudah begini biasanya yang terlibat harus ikut membantu pengobatan. "Udah Pak Dhe kita bawa saja ke sana. Kasihan adiknya Mbak Narsih."


"Tapi kita nggak punya uang, To."


"Udah bawa dulu saja. Soal uang biar aku yang tanggung."


Meski ragu aku segera bangkit dan berjalan menuju rumah sakit. Jarakanya hanya beberapa blok saja. Kami setengah berlari ke sana. Mbak Narsih juga ikut sambil tersedu di belakang. Aku tahu keadaan mereka juga miris. Di buang oleh kedua orang tuanya tanpa peninggalan.


Di rumah sakit, beberapa orang berbaju putih segera mengambil alih keadaan. Kami disuruh menunggu di luar ruangan. Wajah Saito sedikit mengendur. "Pak Dhe saya bayar dulu tagihannya."


Aku mengangguk. "Saya ikut."


Biaya yang dikeluarkan nggak kecil. Setidaknya Saito menyerahkan dua puluhan lembar uang ratusan ribu. Aku yang semakin penasaran dari mana uang itu berasal langsung bertanya. "Sekarang kamu jujur saja, To. Kamu dapat uang dari mana?"


Saito tersenyum. Lalu, dia menunjuk kantong celananya yang sebelah kanan. "Dari sini."


"Ya, tahu lah. Emang uang kalau nggak di ambil dari saku. Mau di mana lagi?"


"Bener Pak Dhe. Dari saku ini semua itu keluar. Bentar."

Dia mengeluarkan segenggam uang ratusan ribu dari sana. Lalu, seakan tak ada habisnya dia mengeluarkan segenggam lagi. Menaruhnya di tangangku. Lalu mengambil lagi dan lagi. Aku sampai heran seberapa luas kantong itu. Sekarang setifakynya ada lima juta yang keluar dari kantong itu. "Ini bisa kita berikan pada Mbak Narsih. Pasti biaya perawatan adiknya cukup dengan uang ini."


Aku berusaha percaya dengan Saito. Tapi tetap saja semuanya tak masuk akal. Tapi, hei, memang sejak kapan dunia ini masuk akal?


Hari-hari berikutnya kami membeli perabot. Mengisi kosan dengan barang-barang yang pantas. Saat aku bertanya kenapa nggak buat pulang saja. Karena setelah mengetahui keajaiban saku Saito, aku bersemangat untuk pulang bertemu anak istri. Tetapi, dia malah tertawa. Katanya dia ingin cari kerja dulu.

"Lho uang dari sakumu itu pasti nggak akan habis."


Saito menggeleng. "Saya nggak mau bergantung terus dengan uang ini Pak Dhe. Allah pasti mempercayakan ini untuk hal yang lebih baik."


Benar saja. Sejak saat itu Saito jadi dermawan besar. Dia membantu tetangga-tetangga kami yang kesusahan. Dia mendadak terkenal. Bahkan tukang ojek pengkolan di sebrang rumah sakit tahu. Bakul sayur berperan besar dalam penyebaran isu itu. Lalu orang-orang besar. Sekarang Saito sangat terkenal dengan kedermawanan nya. Bahkan banyak orang yang menyembah-nyembah padanya.


Tapi,...


Bahkan akhir akhir ini aku mendengar kalau ada yang tahu soal rahasia Saito. Mereka berencana untuk mencuri celana Saito. Pernah suatu ketika aku diajak dalam rencana mereka.


Hatiku bergolak. Aku juga manusia. Melihat keadaan Saito sekarang rasa iri mulai muncul. Ingin juga merebut celana Saito. Aku sudah bosan tinggal di tempat ini. Aku ingin pulang kampung. Tapi aku menolak ajakan mereka.


Akhirnya malam ini, rencan para tetangga yang tak tahu terima kasih itu dilaksanakan. Mereka membobol kosan kami dan mengancam kami untuk menyerahkan celana Saito. Celana kumal yang sudah bau.


"Kalau butuh uang saya bisa bantu, Pak." Saito berkata polos.


"Lebih baik kamu serahkan, To." Aku berpura-pura pasrah.


"Nggak, Pak Dhe. Celana ini nggak akan saya berikan. Mereka bisa menyelahgunakan uang dalam saku ini."


Salah satu dari pembobol itu mengacungkan golok besar ke arah Saito. Tapi Saito tetap diam. 


"Kalau nggak kamu serahkan, kamu akan saya bunuh."


Saito tak takut. Dia sudah berdiri dengan kuda-kuda yang kuat. Dia bisa bela diri sedikit. Bukan malah menyerang mereka. Dia menarik tanganku. Lalu menerjang mereka. Aku diseretnya kabur dari kosan. "Kita kabur saja, Pak Dhe."


Orang-orang itu mengejar kami. Mereka bersorak-sorai membangunkan banyak orang. Bahkan beberapa dari mereka ikut mengejar mengatai kami dukun.


"Bunuh dukun itu!"


Aku dan Saito terus berlari. Masuk ke gang-gang yang kumuh. Belok sana sini. Sampai akhirnya kami berhasil kabur dari kejaran mereka.

"Kita pulang ke kampung saja, To."


"Nggak Pak Dhe. Kita cari kosan baru saja."


"To!" Aku membentaknya. Hatiku bergolak tak tahan lagi. Tak mengerti pikirannya. Kenapa dia nggak mau pulang? "Emak kamu pasti khawatir, To!"


Dia tetap menggelang bersikukuh aku semakin geram dengannya. Rasa iri, marah, kesal, dan rasa yang campur aduk membuatku berani mencekik lehernya. Aku benar-benar kalap. "Kalau begitu kamu mati saja! Mati, To! Mati!"


Saito tak melawan. Dia malah manangis. Begitu juga ketika lehernya mengorok-ngorok perlua asupan napas. Dia tetap tak melawan. Dia mencoba berkata, "k ka ka kf kf"

Aku baru berhenti ketika dia sudah tak bergerak lagi. Aku telah membunuhnya. Seakan tanpa bersalah aku mengambil celananya. Membiarkan mayatnya tanpa celana di kegelapan gang malam.


Tanpa menunggu lagi aku langsung memesan tiket untuk pulang. Tapi hatiku jadi terus bergetar. Tapi itu bukan rasa menyesal. Sedikit takut juga sedikit khawatir. Tetapi, aku cukup lega begitu aku berhasil naik kereta api untuk pulang.


Sampai di kampung aku langsung ternganga. Istri dan anakku tergeletak mati di jalanan. Aku berteriak keras meminta pertolongan. Pak RT yang kebetulan pulang meronda dini hari itu langsung menghampiri ku. "Maaf, Kang. Sepertinya istrimu telah jadi tumbal pesugihan. Sudah banyak warga desa kita jadi korban. Kata dukun kampung, yang membuat pesugihan dari daerah Kumang."


Deg!

Pesugihan?

Saito?

Uang saku celana?


Aku kehilangan kewarasanku.


Dampit, 20 April 2020


Sc Pict: Pinterest

Re-edit with Canva

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Penghancur